A. HUKUM PERDATA
A.1 Pengertian Dan Keadaan
Hukum Perdata di Indonesia
Yang
dimaksud dengan hukum perdata ialah hukum yang mengatur hubungan antara
perorangan didalam masyarakat. Perkataan hokum perdata dalam artian yang luas
meliputi semua hokum privat materiil dan dapat juga dikatakan sebagai lawan
dari hukum pidana.
Untuk
hukum privat meteriil ini ada juga yang menggunakan dengan perkatan hokum
sipil, tapi oleh karena perkataan sipil juga digunakan sebagai lawan dari
militer, maka yang lebih umum lagi digunakan nama hokum perdata saja, untuk
segenap peraturan hukum privat materiil (hukum perdata materiil)
Dan
pengertian dari kumum privat (hokum perdata materiil) ialah hokum yang memuat
segala peraturan yang mengatur hubungan antara perseoranan didalam masyarakat
dan kepentingan dari masing-masing orang yang bersangkutan. Dalam arti bahwa
didalamnya terkandung hak dan kewajiban
seseorang dengan sesuatu pihak secara timbale balik dalam hubungannya
terhadap orang lain di dalam suatu masyarakat tertentu.
Disamping
hokum privat materiil, juga dikenal hokum perata formil yang lebih dikenal
sekarang yaitu dengan HAP (hukum acara perdata) atau proses perdata yang
artinya hokum yang memuat segala peraturan yang mengatur bagaimana caanya
melaksanakan praktek dilingkungan pengadilan predata. Didalam pengertian sempit
kadang-kadang hokum perdata ini digunakan sebagai hukum dagang.
Keadaan hukum perdata dewasa ini di Indonesia Mengenai
keadaan hokum perdata di Indonesia dapat dikatakan masih bersifat majemuk, yaitu
beraneka ragam. Penyebab dari keanekaragaman ini ada 2 faktor:
1.) Faktor ethnis disebabkan
keanekaragaman hokum adat bangsa Indonesia karena Negara kita Indonesia ini terdiri
dari berbagai suku bangsa.
2.)Faktor hostia yuridis yang dapat
kita lihat, yang pada pasal 163.I.S. yang membagi penduduk menjadi 3 golongan,
yaitu:
a.
Golongan eropa dan yang dipersamakan.
b.
Golongan bumu putera (pribumi/bangsa Indonesia asli) dan yang dipersamakan.
c.
Golongan timur asing (bangsa cina, india, arab)
Dan pasal 131 .I.S. yang membedakan
berlakunya hokum bagi golongan-golongan tersebut:
- Golongan Indonesi asli berlaku hukum adat
- Golongan eropa barlaku hokum perdata (BW) dan hokum dagang (WVK)
- Golongan timur asing berlaku hokum masing-masing dengan catatan timur asing dan bumi putera boleh tunduk pada hokum eropa barat secara keseluruhan atau untuk beberapa macam tindakan hokum perdata.
Untuk
memahami keadaan hokum perata di Indonesia patutlah kita terlebih dahulu
mengetahui politik pemerintahan Hindia Belanda terlebih dahulu terhadap hokum
di Indonesia.
Pedoman
politik bagi pemerintah Hindia Belanda terhadap hokum di Indonesia ditulis
dalam pasal 131 (I.S.) (Indische Staatregeling) yang sebelumnnya pasal 131
(I.S.) yaitu pasal 75RR (Regeringsreglement) yang pokok-pokoknya sebagai
berikut:
- Hokum perdata dan dagang (begitu pula Hukum Pidana beserta Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana haru diletakan dalam Kitab Undang-undang yaitu di Kodifikasi).
- Untuk golongan bangsa Eropa haru dianut perundang-undangan yang berlaku di negeri Belanda (sesuai azas Konkordansi).
- Untuk golongan bangsa Indonesia Asli dan Timur Asing (yaitu Tionghoa, Arab, dll) jika ternyata bahwa kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendakinya, dapatlah peraturan-peraturan untuk bangsa Eropa dinyatakan berlaku untuk mereka.
- Orang Indonesi Asli dan orang Timur Asing, sepanjang mereka belum ditundukkan dibawah suatu peraturan bersama dengan bangsa Eropa, diperbolehkan menundukkan diri pada hokum yang berlaku untuk bangsa Eropa. Penundukan ini boleh dilakukan baik secara umum maupun secara hanya mengenai suatuperbuatan tertentu saja.
- Sebelumnya hokum untuk bangsa Indonesia ditulis didalam undang-undang maka bagi mereka itu akan tetap berlaku hokum yang sekarang berlaku bagi mereka, yaitu Hukum Adat.
Berdasarkan
pedoman tersebut diatas, dijaman Hindia Belanda itu telah ada beberapa
peraturan UU Eropa yang telah dinyatakan berlaku untuk bangsa Indonesia Asli,
seperti pasal 1601-1603 lama dari BW yaitu perihal:
- Perjanjian kerja perburuhan: (staatsblat 1879 no 256) pasal 1788-1791 BW perihal hutang-hutang dari perjudian (straatsblad 1907 no 306).
- Dan beberapa pasal dari WVK (KHUD) yaitu sebagai besar dari Hukum Laut (straatsblat 1933 no 49).
Disamping
itu ada peraturan-peraturan yang secara khusus dibuat untuk bangsa Indonesia
seperti:
- Ordonasi Perkawinan bangsa Indonesia Kristen (staatsblad 1933 no 74).
- Organisasi tentang Maskapai Andil Indonesia (IMA) staatsblad 1939 no 570 berhubungan dengan no 717).
Dan
ada pula peraturan-peraturan yang berlaku bagi semua golongan warga Negara
yaitu :
- UU Hak Pengarangan (Auteurswet tahun 1912)
- Peraturan Umum tentang Koperasi (staatsblad 1933 no 108)
- Ordonansi Woeker (staatsblad 1938 no 523)
- Ordonansi tentang pengangkutan di uara (staatsblad 1938 no 98).
A.2 Sejarah singkat hukum
perdata yang berlaku di Indonesia
Sejarah membuktikan bahwa
hokum perdata yang saat ini berlaku di Indonesia, tidak lepas dari sejarah Hukum
Perdata Eropa. Bermula di benua Eropa, terutama di Eropa Kontinental berlaku
Hukum Perdata Romawi, disamping adanya
Hukum tertulis dan Hukum kebiasaan setempat. Diterimanya Hukum Perdata Romawi
pada watu sebagai hokum asli dari Negara-negara di Eropa, oleh karena hokum di
eropa kacau-balau, dimana tiap-tiap daerah selain mempunyai peraturan-peraturan
sendiri, juga peraturan setiap daerah iru berbeda-beda.
Oleh karena adanya
perbedaan ini jelas bahwa tidak ada suatu kepastian hokum. Akibat
ketidakpuasan, sehinggga orang mencari kearah adanya kepastian hukum, kesatuan
hukum dan keseragaman hukum. Pada tahun 1804 atas prakarsa Napoleon
terhimpunlah Hukum Perdata dalam satu kumpulan peraturan yang bernama “Code
Civil des Francais” yang juga dapat disebut “Code Napoleon”, karena Code Civil
des Francais ini adalah merupakan sebagian dari Code Napoleon.
Sebagai petunjuk penyusunan
Code Civil ini dipergunakan karangan dari beberapa ahli hukum antara lain
Dumoulin, Domat dan Pothies, disamping itu juga dipergunakan Hukum Bumi Putra
Lama, Hukum Jernonia dan Hukum Cononiek. Dan mengenai peraturan-peraturan hukum
yang belum ada di jaman Romawi antara lain masalah wessel, assuransi,
badan-badan hukum. Akhirnya pada zaman Aufklarung (jaman baru sekitar abad
pertengahan) akhirnya dimuat pada kitab Undang-Undang tersendiri dengan nama
“Code de Commerce”.
Sejalan dengan adanya
penjajahan oleh bangsa Belanda (1809-1811), maka Raja Lodewijk Napoleon
menetapkan : “Wetboek Napoleon Ingeright Voor het Koninkrijk Holland” yang isinya
mirip dengan “Code Civil des Francais atau Code Napoleon” untuk dijadikan
sumber Hukum Perdata di Belanda. Setelah berakhirnya penjajahan dan dinyatakan
Nederland disatukan dengan Pracis pada tahun 1811, Code Civil des Francais ini
tetap berlaku di Belanda.
Oleh karena perkembangan
jaman, dan setelah beberapa tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis ini, bangsa
Belanda mulai memikirkan mengerjakan kodifikasi dari hukum perdatanya. Dan
tepatnya 5 juli 1830 kodifikasi ini selesai dengan terbentuknya BW(Burgerlijk
Wetboek) dan WVK (Wetboek Van Koophandle) ini adalah produk Nasional-Nederland
namun isi dan bentuknya sebagian besar sama dengan Code Civils de Francais dan
Code de Commerce. Dan pada tahun 1948, kedua UU produk Nasional-Nederland ini
diberlakukan di Indonesia berdasarkan azas koncordantie (azas Politik Hukum).
Sampai sekarang sering kita kenal dengan nama KUH Sipil (KHUP) untuk BW ,
sedangkan KUH Dagang untuk WVK.
A.3 Sistematika Hukum
Perdata Di Indonesia
kita (BW) ada 2 pendapat.
Pendapat yang pertama yaitu, dari pemberlaku Undang-Undang berisi:
Buku
I
: berisi mengenai orang. Di dalamnya diatur hukum tentang diri seseorang dan hukum kekeluargaan.
Buku
II :
berisi tentang hal benda. Dan di dalamnya diatur hukum kebendaan dan hukum waris.
Buku
III :
berisi tentang perikatan. Di dalamnya diatur hak-hak dan kewajiban timbal balik antara orang-orang
atau pihak-pihak tertentu.
Buku
IV : berisi
tentang pembuktian dan daluarsa. Di dalamnya diatur tentang alat-alat pembuktian dan
akibat-akibat hukum yang timbul dari adanya daluwarsa itu.
Pendapat
pembentuk Undang-Undang (BW)
·
Buku
1 : mengenai orang
·
Buku
II : mengenai benda
·
Buku
III : mengenai perikatan
·
Buku
IV : mengenai pembuktian
Pendapat
yang kedua menurut Ilmu Hukum/ Doktrin dibagi dalam 4 bagian yaitu:
I.
Hukum tentang diri seseorang (pribadi)
Mengatur
tentang manusia sebagai subyek dalam hukum, mengatur tentang prihal kecakapan
untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan
hak-hak itu dan selanjutnya tentang hal-hal yang mempengaruhi
kecakapan-kecakapan itu.
II.
Hukum Kekeluargaan
Mengatur
prihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan yaitu: Perkawinan
beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami dengan istri,
hubungan antara orang tua dan anak, perwalian dan curatele.
III.
Hukum Kekayaan
Mengatur
prihal hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang. Jika kita
mengatakan tentang kekayaan seseorang maka yang dimaksudkan ialah jumlah dari
segala hak dari kewajiabn orang itu dinilaikan dengan uang. Hak-hak kekayaan
terbagi lagi atas hak-hak yang berlaku terhadap tiap-tiap oarang, oleh
karenanya dinamakan hak Mutlak dan hak yang hanya berlaku terhadap seseorang
atau pihak tertentu saja dan karenanya di namakan hak perseorangan. Hak mutlak
yang memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat dinamakan hak
kebendaan. Hak mutlak yang tidak memberikan kekuasaan atas suatu benda yang
dapat terlihat dinamakan hak kebendaan.
Hak
mutlak yang tidak memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat.
·
Hak
seorang pengarang atas karangannya
·
Hak
seseorang atas suatu pendapat dalam lapangan Ilmu Pengetahuan atau hak pedagang
untuk memakai sebuah merk, dinamakan hak mutlak saja.
IV.
Hukum Warisan
Mengatur
tentang benda atau kekayaan seseorang jika ia meninggal. Disamping itu Hukum
Warisan mengatur akibat-akibat dari hubungan keluarga terhadap harta
peninggalan seseorang.
B.HUKUM PERIKATAN
Istilah
Perikatan
•
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menggunakan istilah Perikatan = “Verbintenis”
dan Persetujuan = “Overeenkomst”
•
Verbintenis berasal dari kata kerja Verbinden yang artinya mengikat
•
Overeenkomst berasal dari kata kerja “overeenkomen” yang artinya setuju atau
sepakat
1.Menurut Hofmann :
Suatu
hubungan hukum antara sejumlah terbatas subyek-subyek hukum sehubungan dengan
itu dengan seseorang atau beberapa prang daripadanya mengikatkan dirinya untuk
bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak lain, yang berhak atas sikap
yang demikian itu.
2. Menurut Pitlo :
2. Menurut Pitlo :
Perikatan
adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara 2 orang atau
lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain
berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi.
3. Menurut Subekti :
Perikatan
adalah suatu hubungan hukum antara 2 pihak, yang mana pihak yang satu berhak
menuntut sesuatu dari pihak yang lainnya yang berkewajiban memenuhi tuntutan
itu.
Perikatan
Dalam arti Sempit.
perikatan
yang terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan saja,
•
Perikatan dalam arti sempit.
•
Dalam hukum perikatan ini bahwa hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban dalam
perikatan tersebut antara dua pihak.
•
Pihak yang berhak atas prestasi atau pihak yang aktif adalah kreditur atau orang yang berpiutang.
B.2 Dasar Hukum Perikatan
Sumber-sumber
hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang, dan
sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan undang-undang
dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi
menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum.
Dasar
hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai
berikut :
- Perikatan yang timbul dari persetujuan ( perjanjian )
- Perikatan yang timbul dari undang-undang
- Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming )
Sumber
perikatan berdasarkan undang-undang :
- Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
- Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
- Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
B.3 Azas-Azas Hukum Perikatan
Azas-azas hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata,
yakni :
- Azas Kebebasan Berkontrak
Dalam
Pasal 1338 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang
dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Dengan
demikian, cara ini dikatakan ‘sistem terbuka’, artinya bahwa dalam membuat
perjanjian ini para pihak diperkenankan untuk menentukan isi dari perjanjiannya
dan sebagai undang-undang bagi mereka sendiri, dengan pembatasan perjanjian
yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan undang-undang, ketertiban
umum, dan norma kesusilaan.
2. Azas Konsensualisme
Azas
ini berarti, bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat
antara pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu
formalitas.
Dalam
Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat
adalah kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yaitu :
- Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri
- Cakap untuk membuat suatu perjanjian
- Mengenai suatu hal tertentu
- Suatu sebab yang halal
B.4 WanPrestasi dan Akibat- Akibatnya
Wansprestasi
timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang
diperjanjikan. Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori,
yakni :
1.
Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2.
Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3.
Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4.
Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Akibat-akibat Wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau
akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan
menjadi tiga kategori, yakni
1.
Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti
rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni:
a.
Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata- nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu
pihak;
b.
Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si
debitor;
c.
Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah
dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2.
Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di
dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal
1248 KUH Perdata. Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan
membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
3.
Peralihan Risiko
Peralihan
risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di
luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek
perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
B.5 Hapusnya Perikatan
Perikatan itu bisa hapus jika
memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan Pasal 1381 KUH Perdata. Ada 10
(sepuluh) cara penghapusan suatu perikatan adalah sebagai berikut :
1. Pembaharuan utang (inovatie)
Novasi adalah suatu persetujuan yang
menyebabkan hapusnya sutau perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul
perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula. Ada tiga
macam novasi yaitu :
1) Novasi obyektif, dimana perikatan
yang telah ada diganti dengan perikatan lain.
2) Novasi subyektif pasif, dimana
debiturnya diganti oleh debitur lain.
2. Perjumpaan utang (kompensasi)
Kompensasi adalah salah satu cara
hapusnya perikatan, yang disebabkan oleh keadaan, dimana dua orang
masing-masing merupakan debitur satu dengan yang lainnya. Kompensasi terjadi
apabila dua orang saling berutang satu pada yang lain dengan mana utang-utang
antara kedua orang tersebut dihapuskan, oleh undang-undang ditentukan bahwa
diantara kedua mereka itu telah terjadi, suatu perhitungan menghapuskan
perikatannya (pasal 1425 KUH Perdata). Misalnya A berhutang sebesar Rp.
1.000.000,- dari B dan sebaliknya B berhutang Rp. 600.000,- kepada A. Kedua
utang tersebut dikompensasikan untuk Rp. 600.000,- Sehingga A masih mempunyai
utang Rp. 400.000,- kepada B.Untuk terjadinya kompensasi undang-undang
menentukan oleh Pasal 1427KUH Perdata, yaitu utang tersebut : Kedua-duanya
berpokok sejumlah uang atau Berpokok sejumlah barang yang dapat dihabiskan. Yang
dimaksud dengan barang yang dapat dihabiskan ialah barang yang dapat diganti. Kedua-keduanya
dapat ditetapkan dan dapat ditagih seketika.
3. Pembebasan utang.
Undang-undang tidak memberikan
definisi tentang pembebasan utang. Secara sederhana pembebasan utang adalah
perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk menagih
piutangnya dari debitur. Pembebasan utang tidak mempunyai bentuk tertentu.
Dapat saja diadakan secara lisan. Untuk terjadinya pembebasan utang adalah
mutlak, bahwa pernyataan kreditur tentang pembebasan tersebut ditujukan kepada
debitur. Pembebasan utag dapat terjadi dengan persetujuan atau Cuma- Cuma.
Menurut pasal 1439 KUH Perdata maka
pembebasan utang itu tidak boleh dipersangkakan tetapi harus dibuktikan.
Misalnya pengembalian surat piutang asli secara sukarela oleh kreditur
merupakan bukti tentang pembebasan utangnya.
Dengan pembebasan utang maka
perikatan menjadi hapus. Jika pembebasan utang dilakukan oleh seorang yang
tidak cakap untuk membuat perikatan, atau karena ada paksaan, kekeliruan atau
penipuan, maka dapat dituntut pembatalan. Pasal 1442 menentukan : (1)
pembebasan utang yang diberikan kepada debitur utama, membebaskan para
penanggung utang, (2) pembebasan utang yang diberikan kepada penanggung utang,
tidak membebaskan debitur utama, (3) pembebasan yang diberikan kepada salah
seorang penanggung utang, tidak membebaskan penanggung lainnya.
4. Musnahnya barang yang terutang
Apabila benda yang menjadi obyek
dari suatu perikatan musnah tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang, maka
berarti telah terjadi suatu ”keadaan memaksa”at au force majeur, sehingga
undang-undang perlu mengadakan pengaturan tentang akibat-akibat dari perikatan
tersebut. Menurut Pasal 1444 KUH Perdata, maka untuk perikatan sepihak dalam keadaan
yang demikian itu hapuslah perikatannya asal barang itu musnah atau hilang
diluar salahnya debitur, dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Ketentuan ini
berpokok pangkal pada Pasal 1237 KUH Perdata menyatakan bahwa dalam hal adanya
perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu kebendaan itu semenjak
perikatan dilakukan adalah atas tenggungan kreditur. Kalau kreditur lalai akan
menyerahkannya maka semenjak kelalaian-kebendaan adalah tanggungan debitur.
5. Kebatalan dan pembatalan
perikatan-perikatan.
Bidang kebatalan ini dapat dibagi
dalam dua hal pokok, yaitu : batal demi hukum dan dapat dibatalkan. Disebut
batal demi hukum karena kebatalannya terjadi berdasarkan undang-undang.
Misalnya persetujuan dengan causa tidak halal atau persetujuan jual beli atau
hibah antara suami istri adalh batal demi hukum. Batal demi hukum berakibat
bahwa perbuatan hukum yang bersangkutan oleh hukum dianggap tidak pernah
terjadi. Contoh : A menghadiahkan rumah kepada B dengan akta dibawah tangan,
maka B tidak menjadi pemilik, karena perbuatan hukum tersebut adalah batal demi
hukum. Dapat dibatalkan, baru mempunyai akibat setelah ada putusan hakim yang
membatalkan perbuatan tersebut. Sebelu ada putusan, perbuatan hukum yang
bersangkutan tetap berlaku. Contoh : A seorang tidak cakap untuk membuat
perikatan telah menjual dan menyerahkan rumahnya kepada B dan kerenanya B
menjadi pemilik. Akan tetapi kedudukan B belumlah pasti karena wali dari A atau
A sendiri setelah cukup umur dapat mengajukan kepada hakim agar jual beli dan penyerahannya
dibatalkan. Undang-undang menentukan bahwa perbuata hukum adalah batal demi
hukum jika terjadi pelanggaran terhadap syarat yang menyangkut bentuk perbuatan
hukum, ketertiban umum atau kesusilaan. Jadi pada umumnya adalah untuk
melindungi ketertiban masyarakat. Sedangkan perbuatan hukum dapat dibatalkan,
jika undang-undang ingin melindungi seseorang terhadap dirinya sendiri.
6. Syarat yang membatalkan
Yang dimaksud dengan syarat di sini
adalah ketentun isi perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak, syarat
mana jika dipenuhi mengakibatkan perikatan itu batal, sehingga perikatan
menjadi hapus. Syarat ini disebut ”syarat batal”. Syarat batal pada asasnya
selalu berlaku surut, yaitu sejak perikatan itu dilahirkan. Perikatan yang
batal dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi
perikatan. Lain halnya dengan syarat batal yang dimaksudkan sebagai ketentuan
isi perikatan, di sini justru dipenuhinya syarat batal itu, perjanjian menjadi
batal dalam arti berakhir atau berhenti atau hapus. Tetapi akibatnya tidak sama
dengan syarat batal yang bersifat obyektif. Dipenuhinya syarat batal, perikatan
menjadi batal, dan pemulihan tidak berlaku surut, melainkan hanya terbatas pada
sejak dipenuhinya syarat itu.
7. Kedaluwarsa
Menurut ketentuan Pasal 1946 KUH
Perdata, lampau waktu adalah suatu alat untuk memperoleh susuatu atau untuk
dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas
syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Dengan demikian menurut
ketentuan ini, lampau waktu tertentu seperti yang ditetapkan dalam
undang-undang, maka perikatan hapus.
Dari
ketentuan Pasal tersebut diatas dapat diketehui ada dua macam lampau waktu,
yaitu :
(1). Lampau waktu untuk memperolah
hak milik atas suatu barang, disebut ”acquisitive prescription”;
(2). Lampau waktu untuk dibebaskan
dari suatu perikatan atau dibebaskan\ dari tuntutan, disebut ”extinctive
prescription”; Istilah ”lampau waktu” adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa
belanda ”verjaring”. Ada juga terjemaha lain yaitu ”daluwarsa”. Kedua
istilah terjemahan tersebut dapat dipakai, hanya saja istilah daluwarsa
lebih singkat dan praktis.
C. Pengertian Perjanjian,macam-macamnya,jenis-jenisnya,
syarat sahnya, dan sebab membatalkan perjanjian
C.1 PENGERTIAN PERJANJIAN
KERJA
Istilah
perjanjian sudah tidak asing bagi kita,karena hampir sebagian besar aktivitas
kita menjadikan perjanjian sebagai suatu sarana untuk berbisnis atau
bertransaksi. Untuk lebih jelasnya memahami apa sesungguhnya perjanjian
itu,perjanjian adalah suatu peristiwa dimana pihak yang satu mengikatkan
dirinya kepada pihak lainnya untuk melaksanakan sesuatu. dengan kata lain
perjanjian merupakan salah satu sumber yang paling banyak menimbulkan perikatan
karena hukum perjanjian menganut sistem terbuka sehingga anggota masyarakat
bebas untuk mengadakan perjanjian dan UU hanya berfungsi untuk melengkapi
perjanjian yang dibuat oleh masyarakat.
Dalam
pasal 1313 KUH Perdata disebutkan bahwa suatu perjanjian adalah “suatu
perbuatan dengan mana seorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih” maksudnya adalah perjanjian suatu recht handeling artinya
suatu perbuatan yang oleh orang-orang yang bersangkutan dengan tujuan agar
timbul akibat hukum, dengan demikian suatu perjanjian adalah hubungan timbal
balik atau bila teral maksudnya suatu pihak yang memperoleh hak-hak dari
perjanjian itu juga menerima kewajiban yang merupakan kosekwensi dari hak-hak
yang diperolehnya.
C.2 JENIS-JENIS PERJANJIAN
a. Perjanjian
dengan cuma-cuma dan perjanjian dengan beban.
·
Perjanjian dengan Cuma-Cuma ialah suatu
perjanjian dimana pihak yang satu memberikan
suatu keuntungan kepada yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya
sendiri. (Pasal 1314 ayat (2) KUHPerdata).
·
Perjanjian dengan beban ialah suatu perjanjian
dimana salah satu pihak memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain dengan
menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
b. Perjanjian
sepihak dan perjanjian timbal balik.
·
Perjanjian sepihak adalah suatu perjanjian
dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja.
·
Perjanjian timbal balik ialah suatu perjanjian
yang memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak.
c. Perjanjian
konsensuil, formal dan riil.
·
Perjanjian konsensuil ialah perjanjian dianggap
sah apabila ada kata sepakat antara kedua belah pihak yang mengadakan
perjanjian tersebut.
·
Perjanjian formil ialah perjanjian yang harus
dilakukan dengan suatu bentuk tertentu, yaitu dengan cara tertulis.
·
Perjanjian riil ialah suatu perjanjian yang
diperlukan dan sepakat harus diserahkan.
d. Perjanjian
bernama, tidak bernama, dan campuran.
·
Perjanjian bernama ialah suatu perjanjian dimana
UU telah mengaturnya dengan ketentuan-ketentuan khusus yaitu dalam Bab V sampai
bab XIII KUHerdata ditambah titel VIIA.
·
Perjanjian tidak bernama ialah perjanjian yang
tidak diatur secara khusus.
·
Perjanjian campuran ialah perjanjian yang
mengandung berbagai perjanjian yang sulit di kualifikasikan.
C.3 Syarat – syarat
Perjanjian Kerja
Menurut
Pasal 1338 ayat (1) bahwa perjanjian yang mengikat hanyalah perjanjian yang
sah. Supaya sah pembuatan perjanjian harus mempedomani Pasal 1320 KHU Perdata. Pasal
1320 KHU Perdata menentukan empat syarat sahnya perjanjian yaitu harus ada :
1. Kesepakatan
Yang
dimaksud dengan kesepakatan di sini adalah adanya rasa ikhlas atau saling
memberi dan menerima atau sukarela di antara pihak-pihak yang membuat
perjanjian tersebut. Kesepakatan tidak ada apabila kontrak dibuat atas dasar
paksaan, penipuan, atau kekhilafan.
2. Kecakapan
Kecakapan
di sini berarti para pihak yang membuat kontrak haruslah orang-orang yang oleh
hukum dinyatakan sebagai subyek hukum. Pada dasarnya semua orang menurut hukum
cakap untuk membuat kontrak. Yang tidak cakap adalah orang-orang yang
ditentukan oleh hukum, yaitu anak-anak, orang dewasa yang ditempatkan di bawah
pengawasan (curatele), dan orang sakit jiwa. Anak-anak adalah mereka yang belum
dewasa yang menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan belum
berumur 18 (delapan belas) tahun. Meskipun belum berumur 18 (delapan belas)
tahun, apabila seseorang telah atau pernah kawin dianggap sudah dewasa, berarti
cakap untuk membuat perjanjian.
3. Hal tertentu
Maksudnya
objek yang diatur kontrak harus jelas, setidak-tidaknya dapat ditentukan. Jadi,
tidak boleh samar-samar. Hal ini penting untuk memberikan jaminan atau
kepastian kepada pihak-pihak dan mencegah timbulnya kontrak fiktif.
4. Sebab yang dibolehkan
Maksudnya
isi kontrak tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang bersifat
memaksa, ketertiban umum, dan atau kesusilaan.
C.4 Macam-Macam Perjanjian
Berdasarkan waktunya,
perjanjian kerja dibagi menjadi:
>>
perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT);
>>
pekerjaan waktu tidak tertentu (PKWTT).
Sedangan berdasarkan bentuknya,
perjanjian kerja dibagi menjadi:
>>
tertulis;
>>
lisan
C.5 Penyebab Membatalkan
Perjanjian
>> pekerja meninggal dunia
>> jangka waktu perjanjian kerja berakhir;
>> adanya putusan pengadilan dan/atau
putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
>> adanya keadaan atau kejadian tertentu
yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan kerja, atau perjanjian kerja
bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
C.6 Saat lahirnya perjanjian
Saat Lahirnya PerjanjianMenetapkan kapan saat lahirnya perjanjian mempunyai arti penting bagi :
a) kesempatan penarikan kembali penawaran;
b) penentuan resiko;
c) saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa;
d) menentukan tempat terjadinya perjanjian.
Berdasarkan
Pasal 1320 jo 1338 ayat (1) BW/KUHPerdata dikenal adanya asas konsensual, yang
dimaksud adalah bahwa perjanjian/kontrak lahir pada saat terjadinya
konsensus/sepakat dari para pihak pembuat kontrak terhadap obyek yang
diperjanjikan.
Pada umumnya perjanjian yang diatur dalam BW bersifat konsensual. Sedang yang dimaksud konsensus/sepakat adalah pertemuan kehendak atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam kontrak. Seorang dikatakan memberikan persetujuannya/kesepakatannya (toestemming), jika ia memang menghendaki apa yang disepakati. Mariam Darus Badrulzaman melukiskan pengertian sepakat sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antar pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie).
Jadi pertemuan kehendak dari pihak yang menawarkan dan kehendak dari pihak yang akeptasi itulah yang disebut sepakat dan itu yang menimbulkan/melahirkan kontrak/perjanjian.
Ada beberapa teori yang bisa digunakan untuk menentukan saat lahirnya
kontrak yaitu:Pada umumnya perjanjian yang diatur dalam BW bersifat konsensual. Sedang yang dimaksud konsensus/sepakat adalah pertemuan kehendak atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam kontrak. Seorang dikatakan memberikan persetujuannya/kesepakatannya (toestemming), jika ia memang menghendaki apa yang disepakati. Mariam Darus Badrulzaman melukiskan pengertian sepakat sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antar pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie).
Jadi pertemuan kehendak dari pihak yang menawarkan dan kehendak dari pihak yang akeptasi itulah yang disebut sepakat dan itu yang menimbulkan/melahirkan kontrak/perjanjian.
a. Teori Pernyataan (Uitings Theorie)
Menurut teori ini, kontrak telah ada/lahir pada saat atas suatu penawaran telah ditulis surat jawaban penerimaan. Dengan kata lain kontrak itu ada pada saat pihak lain menyatakan penerimaan/akseptasinya.
b. Teori Pengiriman (Verzending Theori).
Menurut teori ini saat pengiriman jawaban akseptasi adalah saat lahirnya kontrak. Tanggal cap pos dapat dipakai sebagai patokan tanggal lahirnya kontrak.
c. Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie).
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat jawaban akseptasi diketahui isinya oleh pihak yang menawarkan.
d. Teori penerimaan (Ontvangtheorie).
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat diterimanya jawaban, tak peduli apakah surat tersebut dibuka atau dibiarkan tidak dibuka. Yang pokok adalah saat surat tersebut sampai pada alamat si penerima surat itulah yang dipakai sebagai patokan saat lahirnya kontrak.
Sumber
:
fikaamalia.files.wordpress.com/2011/02/azas-hukum-perikatan.doc
elearning.upnjatim.ac.id/courses/HUKUMPERDATA/document/HUKUM_PERIKATAN.ppt?cidReq=HUKUMPERDATA
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=14&ved=0CHMQFjADOAo&url=http%3A%2F%2Ffile.upi.edu%2FDirektori%2FFPIPS%2FJUR._PEND._KEWARGANEGARAAN%2FDrs._H._Dadang_Sundawa%2C_M.Pd%2FH.PERDATA%2FHK_PERIKATAN.ppt&ei=X-CjT5CJK4HSrQeAj8XoBQ&usg=AFQjCNFDS2Qx-ecu8OOXHycfCO_kbGdoQw
MATA KULIAH : ASPEK HUKUM & BISNIS (SOFTSKIL)
NAMA : HELEN SUSANTI
KELAS : 3 DD 03
NPM : 33210194
e-mail : helenwijaya24@ymail.com
UNIVERSITAS GUNADARMA
D3 BISNIS KEWIRAUSAHAAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar